Gizi Datang, Rejeki Hilang: Beberapa Catatan untuk MBG
Catatan kritis tentang Program Makan Bergizi Gratis: gizi anak terjamin, tapi UMKM lokal terancam. Solusi adil perlu segera dihadirkan.
SOSIAL
Yopi Sabara
9/27/20253 min read


Oleh: Yopi Sabara, Ketua Kerukunan Masyarakat Kecamatan Bahodopi
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu agenda besar pemerintah yang diluncurkan sejak awal tahun 2025. Tujuan utamanya sangat mulia: memastikan anak-anak Indonesia, terutama yang berasal dari keluarga tidak mampu, bisa menikmati makanan sehat dan layak setiap harinya.
Secara nasional, program ini telah menjangkau lebih dari 22 juta penerima. Pemerintah mengalokasikan anggaran lebih dari Rp70 triliun untuk mewujudkannya. Skala dan komitmennya besar, menunjukkan bahwa negara tidak tinggal diam dalam urusan gizi anak-anak bangsa.
Namun seperti banyak kebijakan publik lainnya, keberhasilan program tidak hanya ditentukan oleh niat baik dan angka anggaran. Pelaksanaan di lapangan sering kali menghadirkan tantangan yang kompleks. Dalam konteks MBG, pelibatan masyarakat, keamanan pangan, dan keberlanjutan ekonomi lokal menjadi tantangan serius yang tidak bisa diabaikan.
Tantangan di Lapangan
Beberapa bulan setelah diluncurkan, program MBG menghadapi tantangan nyata. Di sejumlah daerah, ditemukan kasus keracunan makanan yang menimpa siswa. Kejadian ini membuka mata kita semua bahwa standar higienitas dapur penyedia belum merata. Pengolahan makanan untuk konsumsi massal, terlebih anak-anak, tidak bisa ditoleransi jika hanya sekadar “layak konsumsi”.
Sayangnya, pendekatan pengawasan yang digunakan selama ini masih bersifat reaktif. Audit atau inspeksi sering kali baru dilakukan setelah muncul masalah. Padahal, seharusnya kontrol dilakukan secara berkala, acak, dan ketat sejak hari pertama distribusi. Dapur-dapur yang terbukti melanggar prosedur harus segera ditangguhkan operasionalnya sambil menunggu perbaikan menyeluruh.
Persoalan lainnya adalah ketimpangan sarana antarwilayah. Tidak semua daerah memiliki fasilitas penyimpanan makanan yang memadai. Daerah terpencil, termasuk beberapa wilayah pesisir dan pegunungan, kesulitan menyimpan bahan segar karena ketiadaan rantai dingin, yaitu sistem penyimpanan dan distribusi yang menjaga makanan tetap dalam suhu rendah. Tanpa ini, bahan segar seperti ikan, ayam, dan sayur lebih cepat rusak.
UMKM yang Tergusur Diam-Diam
Program MBG memang telah membuka lapangan kerja di sektor baru. Banyak dapur umum dibangun, perekrutan tenaga masak dilakukan, dan sistem distribusi makanan mulai berjalan. Tetapi di sisi lain, program ini juga menimbulkan tekanan pada pelaku usaha mikro di sekitar sekolah yang selama ini mengandalkan penghasilan dari berjualan makanan untuk siswa.
Kantin sekolah, warung kecil di pinggir lapangan, ibu-ibu yang menjual kue dan nasi, mereka semua adalah bagian dari ekosistem ekonomi lokal yang perlahan-lahan tersingkir. Dalam banyak kasus, mereka tidak dilibatkan dalam rantai pasok program MBG. Padahal, mereka telah berkontribusi bertahun-tahun untuk menjaga akses makanan di sekolah.
Jika pola seperti ini dibiarkan terus berlanjut, MBG justru menjadi pisau bermata dua. Anak-anak memang mendapat gizi, tetapi pelaku ekonomi kecil kehilangan rezeki. Sebuah program yang bertujuan baik seharusnya menguatkan fondasi yang sudah ada, bukan menggantikannya dengan sistem baru yang tidak menyisakan ruang partisipasi masyarakat sekitar.
Apa yang Bisa Diperbaiki?
Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu mengembangkan model kemitraan antara penyedia MBG dan pelaku lokal seperti kantin sekolah dan UMKM sekitar. Di Morowali, ada potensi besar untuk hal ini. Kecamatan Bumi Raya misalnya, menjalankan distribusi MBG di 24 sekolah dengan lebih dari 2.000 porsi setiap harinya. Jika pelibatan UMKM diperkuat, maka dapur kolektif dan kantin bisa berjalan beriringan, bukan saling menyingkirkan.
Kedua, harga per porsi yang ditetapkan sebesar Rp15.000 harus dievaluasi secara kontekstual. Di Morowali, misalnya, harga bahan pokok dan logistik antarwilayah cukup bervariasi. Harga tersebut bisa mencukupi jika pengadaan dilakukan dengan prinsip efisiensi dan pemberdayaan lokal, tetapi menjadi tidak cukup jika biaya operasional terlalu tinggi karena semua dipusatkan di dapur besar yang jauh dari sekolah-sekolah. Maka, pemerintah perlu mengadakan uji biaya per kabupaten untuk menetapkan standar yang lebih adil.
Ketiga, standar menu bergizi perlu disesuaikan dengan ketersediaan bahan makanan di wilayah masing-masing. Daerah pesisir seperti Morowali dapat mengandalkan potensi hasil laut sebagai sumber protein, sementara daerah pertanian bisa memanfaatkan telur dan sayuran lokal. Pendekatan berbasis potensi lokal akan memperkuat ketahanan pangan dan mendorong rantai pasok yang lebih pendek dan efisien.
Keempat, transparansi adalah fondasi utama program publik. Semua data, mulai dari jumlah penerima, dapur penyedia, hingga hasil audit mutu makanan harus dibuka untuk publik. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan kepercayaan, tetapi juga mendorong perbaikan secara terus-menerus.
Kelima, pengawasan terhadap keamanan pangan harus dilakukan secara aktif dan preventif. Pemerintah provinsi Sulawesi Tengah telah merespons dengan membentuk satuan tugas pengawasan MBG setelah muncul insiden keracunan di sejumlah daerah. Ini langkah positif. Namun ke depan, setiap kabupaten perlu memiliki protokol lokal untuk melakukan evaluasi cepat dan penghentian sementara layanan jika ditemukan risiko.
Penutup
Makan Bergizi Gratis adalah program yang membawa harapan besar, tetapi juga menuntut pelaksanaan yang cermat dan berkeadilan. Niat baik tidak cukup jika pelaksanaannya di lapangan justru merugikan masyarakat kecil yang selama ini hidup dari dapur sekolah.
Kita tentu ingin anak-anak kita tumbuh sehat, cerdas, dan bahagia. Tetapi jangan sampai di balik sepiring makanan bergizi yang mereka terima, ada puluhan ribu ibu-ibu yang kehilangan sumber penghidupan.
Sudah saatnya kita menjadikan program MBG sebagai gerakan gizi yang juga adil secara sosial dan ekonomis. Jika dirancang dengan mendengar suara masyarakat bawah, MBG bisa menjadi warisan kebijakan terbaik dari pemerintahan ini.